Wednesday 10 August 2016

Full Day School dan Penanaman Karakter Anak

Full Day School

Tema ini belakangan jadi tema obrolan paling hits mbak2 di musholla, ibu2 di teras rumah, dan bapak2 di gardu. Saya jd pengen ikutan hits kayak mereka, ngobrolin tema ini di blog πŸ™ˆ

Konsep full day school (FDS) sebetulnya ada bagus nya juga, konsep ini cocok sekali untuk di terapkan di daerah perkotaan di mana baik si emak dan si bapak sama2 bekerja full day. Tapi dengan catatan; sistem harus terkonsep dg matang. Bagaimana contohnya? Misalkan saat FDS diterapkan, pihak sekolah memberikan jam khusus bagi siswa untuk istirahat siang (betul2 jam untuk istirahat ya, bukan jam istirahat yg segera habis untuk sekedar duduk sebentar, sholat dan makan siang), selain itu diadakan pula sholat berjamaah (bagi siswa yg beragama islam), mengkaji literatur2 keislaman bagi yg beragama islam atau kajian kitab2 sesuai agama masing2 bagi yg beragama non islam, kegiatan2 pengembangan kemampuan diri dan kegiatan lain yg intinya : FDS bukan ajang untuk siswa fulllll di cekokin kurikulum.

Rujukan pemikiran ini adalah sekolah2 di Malaysia yg menerapkan konsep FDS dan juga sekolah berbasis pondok pesantren. Mereka telah menerapkan sistem seperti ini. Jadi bagusnya dimana? Nah orang tua yg kedua2nya bekerja seharian sangaatttt tertolong dg adanya FDS ini karena penanaman karakter keagamaan telah dibantu oleh pihak sekolah. Dimana karakter keagamaan (SQ) merupakan salah satu kontrol diri terbaik selain IQ dan EQ. Daannn selain itu mereka jg terbantu dari segi "penitipan" anak agar anak tidak "kleleran" sehingga liar di rumah selama kedua orang tua bekerja (sesuai dg alasan Pak Mentri mengapa ingin menerapakan FDS). FDS dg pola seperti ini jg menguntungkan bagi siswa karena mereka memiliki kesempatan untuk istirahat siang, sehingga setibanya di rumah nanti,mereka tidak kelelahan untuk menjalin interaksi yg baik dg keluarga (basis utama pembentukan kepribadian anak), dan memiliki energi untuk belajar pada malam harinya. Bukankah kata pakar pendidikan lbh baik sistem belajar 2x5 dibandingkan 5x2 ? :) selain itu siswa juga dapat mengikuti kegiatan2 di sekolah untuk pengembangan kemampuan diri melalui kegiatan2 ekstrakulikuler.

Tp masalahnyaaa... kan tidak semua orang tua menghadapi permasalahan yg sama ya.. tidak semua si bapak dan si emak  bekerja full seharian. Tidak semua sekolah bisa mewadahi minat dan bakat siswa yg begiiiitu beragam untuk program pengembangan diri melalui ekstrakulikuler.

 Jika peraturan ini dipukul rata (apalagi tanpa ada nya sistem yg matang) apakabar fungsi orangtua sebagai basis penanaman karakter anak yg utama.
 Bagaimana kabar perkembangan diri siswa yang minat dan bakatnya tidak terwadahi dengan tepat oleh pihak sekolah.
Apakabar pembelajaran gratis dari alam seperti anak2 nelayan di Tanjung Madura, seperti anak2 petani di pegunungan yg sudah bisa berkebun, seperti kami (putra putri Babah-Ibu); iya kami, yg tanpa sadar belajar nemunin tamu orang tua kami yg datang terus2an (belajar "tatak", belajar komunikasi dan belajar sosialisasi), belajar mengatur (aka ngomelin πŸ˜‚) murid2 Babah-Ibu sehingga kami punya sedikit jiwa kepemimpinan (sedikit lo yaaπŸ˜„) Daaaaan pembelajaran gratis lainnya yg cuma di dapat dari kluarga dan lingkungan sekitar..
Sertaa... Apakabar saya dan orang tua lain,yg pengen punya banyak waktu dg anak2  kelak agar tidak ada yg missing dr pembentukan karakter mereka 😳

Sekian obrolan saya_calon emak2 yang memutuskan untuk tidak lagi memiliki idealisme menjadi emak2 kece (dulu mikirnya saya kece jika dan hanya jika ) tiap pagi k kantor dan pulang sore, sekarang pengennya nyari rizki di rumah saja karena memahami bahwa keluarga (ibu) adalah madrasah yang utama bagi anak_

Note : jangan pada heboh dg kata2 "calon emak2" yaa.. beloom saya belom isi πŸ˜„tapi semua wanita adalah calon emak2 kan ya πŸ˜‰ Dan jangan lebeli saya sebagai pihak yg pro atau yg kontra dg adanya FDS ini. Jabarkan terlebih dulu sistem FDS yg matang, baru saya putuskan saya ada di pihak pro atau kontra πŸ˜‰